Sabtu, 04 Februari 2017

Napak Tilas Sejarah dan Peninggalan Sunan Giri Untuk Islam

           Gresik, kota kecil terletak di Pantai Utara Jawa Timur, terkenal dengan julukan sebagai “Kota Industri” karena masifnya pembangunan pabrik-pabrik baru dikota ini. Tak heran, cuaca di Gresik terkenal dengan suhu udara panas yang teramat sangat. Tapi, dibalik itu semua kita akan merasa sejuk ketika datang berziarah ke makam para wali yang dikebumikan disini. Sebut saja Sunan Maulana Malik ibrahim, Sunan Giri, dan Juga Siti Fatimah binti Maimun. Oleh karena itu Gresik terkenal dengan sebutan kotanya para wali. Maka saya putuskan untuk mengambil tempat observasi di kota kelahiran saya ini.


            26 November 2016, sebuah perjalanan spiritual dimulai. Berangkat dari rumah kecil saya di Desa Masangan, Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik. Dengan mengendarai sepeda motor, 40 menit dihabiskan selama perjalanan dengan jarak kurang lebih 40 Km untuk sampai di tempat tujuan. Tibalah di makam Sunan Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik yang terletak dipusat Kota Gresik, tepatnya di Desa Gapurosukolilo menjadi destinasi pertama. Tempat ini merupakan tujuan utama dalam kegiatan observasi peninggalan sejarah islam, karena memiliki kesamaan nama dengan kampus tempat saya belajar sekarang.

            Masuk ke dalam, disambut dengan banyaknya peziarah yang datang dari pelbagai daerah di Indonesia. Memang karomah seorang wali tidak ada habisnya meskipun beliau telah wafat. Disini saya mencoba mencari jejak peninggalan Sunan Gresik lewat penuturan langsung dari ahli sejarahnya. Setelah bertanya kesana kemari, akhirnya memunculkan satu nama, yaitu Bapak Abdul Wahab. Beliau merupakan ahli sejarah yang sudah berpengalaman. Segera saya mencarinya disetiap sudut kompleks makam. Namun hasilnya ternyata nihil. Dengan berat hati, karena tidak ada informasi otentik  dari ahli sejarah, segera saya meninggalkan tempat.

            Saya putuskan rencana kedua untuk menuju destinasi selanjutnya, yakni Makam Sunan Giri. Terletak diatas sebuah bukit di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik. Kita harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menuju ke makam utama, karena untuk kesana harus ditempuh dengan menaiki anak tangga kira-kira sejauh 200 meter. Namun tidak usah khawatir jika tidak kuat, banyak jasa ojek siap mengantar melewati jalur lain yang lebih cepat. Menelusuri langkah demi langkah menaiki anak tangga, saya jadi membayangkan betapa beratnya perjalanan dan cobaan yang ditempuh Sunan Giri ketika mensyiarkan agama islam di Gresik dan seluruh Indonesia pada umumnya. Akhirnya, saya masuk di kompleks utama makam. Penyambutan hangat diberikan oleh bapak Su’udi selaku penjaga pintu utama makam. Saya disarankan untuk menemui bapak Hamim untuk menelusuri lebih dalam lagi mengenai sejarah Sunan Giri. Alhamdulillah, Allah memudahkan jalan saya untuk menemui bapak yang dimaksud. Tidak menunggu waktu lama lagi, saya ajukan beberapa pertanyaan seputar sejarah Sunan Giri.

            Jadi, Raden Paku (Nama kecil Sunan Giri) dilahirkan di kerajaan Blambangan yang masuk dalam wilayah Banyuwangi, Jawa Timur pada tahun 1442. Putra dari pasangan Maulana Ishaq, ulama besar dari Samarkand  dan Dewi Sekardadu putri dari Prabu Minak Sembuyu ini pada waktu kecil memiliki kisah cukup unik, karena pada waktu kelahirannya wilayah Blambangan sering mendapat wabah penyakit mematikan. Oleh karena itu, untuk menghilangkan kutukan tersebut ayahanda dari Raden Paku memutuskan untuk membuang dan memasukkan ke dalam peti bayi yang baru dilahirkan tersebut dilautan lepas. Kisah ini hampir mirip dengan apa yang dialami Nabi Musa semasa kecil.

            Kemudian dalam perjalanannya, Raden Paku ditemukan oleh saudagar kaya dari Gresik bernama Nyai Ageng Pinatih yang kelak mengangkatnya sebagai anak dan memberi nama Joko Samudro (Joko=Anak Laki-Laki, Samudro=Laut). Dia tumbuh menjadi anak yang cerdas. Hingga pada usia 12 tahun, dia berguru pada syekh Ali Rahmatullah(Sunan Ampel) untuk memperdalam ilmu agamanya di Pondok Pesantren Ampel di Ampeldenta, Surabaya. 7 tahun belajar, Sunan Giri mampu menghafal Al Qur’an dan diwisuda serta mendapat gelar Ainul Yaqin.  Sunan Giri pernah dalam suatu hari menikahi dua orang gadis sekaligus dalam satu hari. Di pagi hari menikah dengan Dewi Murthosyiah, yakni putri dari Sunan Ampel dan asharnya dengan Dewi Wardah, putri dari Ki Ageng Bungkul. Dari pernikahan dengan Dewi Murthosyiah, Sunan Giri dikaruniai 8 anak, diantaranya: Ratu Gede Kukusan, Sunan Dalem, Sunan Tegalwangi, Nyai Ageng Seluluhur, Sunan Kidul, Ratu Gede Saworasa, Sunan Kulon, Sunan Waruju. Sedangkan dari Dewi Wardah beliau hanya memiliki 2 orang anak yaitu Pangeran Pasirbata dan Siti Rohbayat.

            Sunan Giri juga pernah mendirikan sebuah pondok pesantren yang pada waktu itu mendapat predikat sebagai pesantren terbesar di Pulau Jawa, Yaitu Pesantren Giri Kedaton. Beliau mendirikan pesantren tersebut diatas perbukitan di Desa Sidomukti. Giri dalam bahasa Jawa berarti gunung/bukit. Hal itu yang mendasari penyebutan Sunan Giri oleh masyarakat sekitar. Santrinya dari masyarakat biasa sampai bangsawan, tapi justru kebanyakan berasal dari luar Jawa, seperti Lombok, Samarinda, Padang, dsb. Salah satu murid paling terkenal adalah Datuk Ri Bandang, yang merupakan seorang mubaligh di kerajaan Gowa-Tallo. Pesantren Giri berkembang sangat pesat hingga menjadi salah satu pusat pengembangan islam di Pulau Jawa serta menjadi kerajaan islam bernama Giri Kedaton dimana Sunan Giri menjadi raja pertamanya dengan gelar Prabu Satmata. Lewat kerajaan tersebut Sunan Giri juga secara otomatis membawa masyarakat Gresik menuju kemajuan, dari sektor ekonomi sampai sosial.

            Meskipun paling muda, diantara 9 wali, Sunan Giri dianggap memiliki ilmu paling tinggi, sampai disebut sebagai rajanya para wali. Karena itu, Sunan Giri sering ditunjuk sebagai pemimpin rapat walisongo dan juga sebagai pengambil keputusan dalam suatu masalah. Hingga pada usia 63 tahun, tepatnya pada tahun 1603 Sunan Giri Wafat, dan dimakamkan di Desa Giri. Banyak peninggalan dari Sunan Giri, diantaranya buah pace atau dalam Bahasa Indonesianya disebut buah mengkudu, pada waktu itu mengobati bagi pasangan yang belum punya keturunan, tapi sekarang pohonnya sudah rusak. Ada juga watu gajah, berupa bongkahan-bongkahan batu besar dari sisa bangunan yang belum sempat dihancurkan. Kemudian Telogo Pegat, digunakan sebagai sumber air warga setempat. Sunan Giri juga membangun masjid Ainul Yaqin sebagai pusat ibadah, letaknya masih di kompleks makam.

             Terakhir yang paling legendaris adalah Keris Kolomunyeng, senjata andalan Sunan Giri ketika menghadapi lawan-lawannya. Konon, keris kolomunyeng bisa bergerak sendiri membunuh musuh-musuh Sunan Giri, selain itu keris ini diyakini memiliki kemampuan untuk membuat pasukan bayangan serta mengacaukan serangan lawan dengan memunculkan koloni lebah.

            Memang Sunan Giri telah wafat beberapa abad yang lalu, namun karomah dan barokah seorang wali masih hidup dan menghidupi warga sekitar Giri. Disamping makam ada pasar khusus oleh-oleh khas Gresik yang berjejer-jejer. Biasanya tempat ini menjadi rujukan kedua setelah makam Sunan Giri.

            Selesai sudah perbincangan saya dengan Bapak Hamim selaku juru kunci makam, diakhir saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas kesediannya meluangkan waktu untuk sekedar bercerita dan menuturkan sejarah serta fakta mengenai Sunan Giri di masa lalu. Sebelum keluar dari kompleks makam, beliau berpesan pada saya dan mahasiswa pada umumnya untuk selalu belajar dengan rajin, tapi tidak lupa dengan gusti Allah, juga menjaga sejarah dengan sebaik-baiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar