Zaman berubah
semakin cepat, senada dengan perkembangan pola pikir manusia yang berkembang
dari zaman purba sampai sekarang. Dalam perjalanan waktu pola pikir manusia
berkembang sesuai zamannya, hingga terkumpul pengetahuan-pengetahuan sebagai
hasil bertanya, meneliti, dan mencermati penelitian orang lain. Hingga tak
terasa tahun masehi telah memasuki masanya yang ke 2016, ilmu pengetahuan telah menjadi dasar hidup
manusia sehingga kebutuhan umat manusia terus meningkat dari tahun ke tahun. Banyak
negara di dunia mengalami pertumbuhan pesat dalam berbagai aspek, mulai
ekonomi, sosial, budaya, bahkan teknologi. Memang tidak bisa dipungkiri lagi
kita sekarang sudah memasuki era pascamodern dengan masifnya perkembangan teknologi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Teknologi merupakan keseluruhan
sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan
kenyamanan hidup manusia. Memang
sekarang teknologi menjadi salah satu
kebutuhan utama yang semakin banyak peminatnya. Terbukti inovasi sekarang sudah
lazim ditemukan dimana-mana, baik dari warga biasa sampai akademisi. Teknologi
berperan penting dalam memajukan zaman, dan hal tradisional pun perlahan mulai
ditinggalkan. Kita lihat saja sekarang, dunia teknologi sudah merambah kepada
semua orang dari anak muda, orang dewasa, bahkan anak-anak pun tidak
ketinggalan ikut-ikutan menggunakan produk teknologi berupa smartphone mulai
dari yang low-end sampai high-end.
Fakta menunjukkan
pada tahun 2016 Indonesia menempati posisi ke-6 dunia dalam urusan penggunaa smartphone
dengan jumlah pengguna aktif mencapai 47 juta (Media Research Center). Maka
jangan heran sekarang kebanyakan manusia Indonesia sekarang hanya terfokus
terhadap gadget mereka tanpa peduli dengan lingkungan sekitar. Sebutan generasi
nunduk disematkan yang mengacu pada sekelompok atau seorang individu yang
selalu menundukkan kepala dan berlama-lama menatap layar smartphone. Ada
3 Indikasi seseorang telah benar-benar kecanduan gadget, pertama apatis, anti
sosial, dan tidak peka terhadap lingkungan sekitar. Kedua mereka mulai
kehilangan kemampuan untuk bersosialisasi. Dan yang ketiga smartphone
benar-benar tidak bisa lepas dari tangan mereka, kemanapun dan kapanpun. Ungkapan
“We live in the era of the smartphones and stupid people” memang tepat
menggambarkan keadaan manusia Indonesia sekarang. Jika terus dibiarkan, maka
tidak akan bisa bangsa ini maju. Karena dalam diri masyarakatnya masih terjajah
oleh produk teknologi, karena itu kita belum merdeka sepenuhnya secara hakikat.
Tentu juga dampak bagi moral manusia Indonesia juga cukup serius. Kepuasan yang
tidak pernah tuntas akan memunculkan gaya hidup hedonisme. Dan apabila tidak
terpenuhi, mereka cenderung melakukan hal apapun termasuk tindakan kriminal
sebagai jalan akhir. Tentu saja perbuatan ini meresahkan bagi semua masyarakat.
Akankah kita hanya duduk terdiam melihat kemajuan yang memundurkan ini?. Memang
kita tidak bisa menghindar dari semua keadaan ini, mengingat kita juga
sebenarnya membutuhkan smartphone untuk sekedar berkomunikasi dan multimedia.
Hanya saja penggunaannya yang harus kita batasi, jangan sampai smartphone yang hanya
sebesar telapak tangan orang dewasa mengusai penuh otak , kita harus melawan jangan
sampai kalah!
Selain teknologi,
pendidikan sekarang juga sedang hangat untuk diperbincangkan. Mulai dari dasar
sampai perguruan tinggi, dan juga para pengajar yang tak luput dari
perbincangan. Banyak dari kita tidak menyadari bahwa sebenarnya pendidikan di
Indonesia masih tertinggal jauh dibawah negara-negara tetangga, seperti:
Malaysia, Singapura, apalagi Australia. Tapi perlahan kini Indonesia mulai
bangkit dari keterpurukan, dengan menunjukkan prestasinya di dunia
internasional dengan menjadi langganan juara dipelbagai event olimpiade yang
diselenggarakan rutin setiap tahunnya. Sungguh membanggakan, namun apakah ada
yang bisa berani menjamin mereka yang rela berkorban demi negara ini punya masa
depan cerah? Tidak semua dari mereka memiliki kesempatan untuk mencicipi hal
itu. Banyak dari mereka masih bersusah payah untuk sekedar mengisi perut
apalagi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Terlihat miris,
namun inilah yang sebenarnya terjadi di negeri kita tercinta.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro
bahkan menyatakan anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2016 telah mencetak
sejarah. Pasalnya, anggaran pendidikan dalam APBN 2016 adalah yang paling besar
dibanding tahun-tahun sebelumnya. anggaran pendidikan dalam APBN 2016 mencapai Rp 419,2
triliun atau 20 persen dari total belanja negara Rp 2095,7 triliun. Hal
tersebut pun sudah sesuai dengan Undang-Undang Pendidikan[1]. Namun melihat data UNICEF tahun 2015 sebanyak 2,5 juta anak
Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu
anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama
(SMP), harusnya dengan biaya sebesar itu Indonesia bisa memangkas angka putus sekolah
yang tergolong masih cukup tinggi. Banyak dari mereka masih berjuang keras
untuk menempuh pendidikan serta jutaan ilmu didalamnya. Indonesia terdiri dari
berbagai pulau, sebab itu pemerataan pembangunan masih sulit dilaksanakan
secepatnya. Maka timbulah berbagai masalah klasik masih sering ditemui dalam
dinamika pendidikan untuk manusia Indonesia, mulai dari jalan akses rusak,
kurangnya tenaga pendidik, sampai akses yang cukup jauh untuk sekolah terdekat.
Hal ini berdampak pada masih stagnannya sistem pendidikan di Indonesia, meski angka putus sekolah cukup
tinggi, namun kualitas pendidikan Indonesia bisa dibilang membaik dari beberapa
tahun yang lalu, mulai dari fasilitas, sistem pendidikan, kurikulum, sampai
tenaga pendidik. Maka bersyukurlah kita yang masih diberi kesempatan tuhan
untuk melanjutkan pendidikan kita hingga sampai perguruan tinggi, karena tidak
mudah bisa masuk disini, apalagi jika ingin meneruskan perjalanan akademiknya
di Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Siswa dari
SMA/SMA/SMK harus bersaing lewat serangkaian seleksi ketat yang diadakan oleh
Kementrian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi (RISTEKDIKTI) lewat 3
jalur : Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) melalui nilai
rapor dan prestasi akademik, Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SBMPTN) melalui tes tulis, dan terakhir adalah Ujian Mandiri . Ketiga jalur
tersebut merupakan gerbang awal untuk merasakan kuliah di PTN. Dulu kuliah
bukan merupakan tujuan utama setelah tamat dari jenjang menengah atas, karena
orangtua terkadang hanya memberi opsi untuk anaknya untuk berkerja atau
menikah, sehingga persaingan masuk PTN bisa dibilang relatif lebih mudah.
Berbanding terbalik dengan sekarang, orangtua menginginkan anaknya terdidik
dengan baik. Nilai prestis cukup tinggi diperoleh orangtua apabila anaknya
sampai lulus dari PTN dan bergelar sarjana. Maka dari itu, orangtua rela
mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk anaknya agar masuk di PTN. Dimulai
dari mengikutsertakan anaknya pada bimbingan belajar di sekolah maupun luar
sekolah, membelikan buku untuk pedoman belajar, bahkan ada sebagian mereka
membayar orang untuk memasukkan anaknya di PTN favorit. Sebut saja UI, UGM, ITB, UNPAD, UB nama kampus yang cukup familiar dan menjadi
rujukan bagi pendaftar PTN. Jadi untuk hanya sekedar masuk PTN menjadi lebih
ketat dan membutuhkan usaha ekstra, karena data menunjukkan siswa lulus SNMPTN
2016 sebanyak 115.178 orang. Jumlah tersebut hanya 17,85 persen dari 645.202
siswa yang mendaftarkan diri melalui SNMPTN 2016[2].
Sedangkan dari jalur SBMPTN 2016 mencapai 721.326 orang. Sebanyak 594.522
peserta atau sekitar 82,5 persen tidak lulus seleksi[3].
Sedangkan untuk jalur mandiri tidak ada data pasti, karena dari 78 PTN
penyelenggara mempunyai kebijakan yang
berbeda. Lalu bagaimana nasib peserta
yang tidak diterima? Jika ingin kuliah ditahun itu juga, maka terpaksa kuliah di
Perguruan Tinggi Swasta (PTS) atau menunggu ditahun selanjutnya untuk kuliah di
PTN. Ini baru di gerbang awal dunia perkuliahan, belum nanti ketika kuliah akan
lebih berat lagi, mahasiswa dibebankan dengan UKT yang terkadang tidak
sebanding dengan UKT apalagi setelah wisuda, disinilah ujian sesungguhnya.
Banyak lulusan PTN di Indonesia yang
mengungguli PTS dalam bidang-bidang tertentu. Bahkan beberapa PTN favorit
memiliki peringkat lebih tinggi. Namun banyak PTS di Indonesia yang cukup
diperhitungkan di Asia ataupun dunia. Lulusan-lulusan PTS juga banyak yang
dipesan terlebih dahulu oleh perusahaan-perusahaan ternama sebelum mereka
lulus. Kualitas lulusan tentunya bukan hanya milik PTN. Tidak sedikit lulusan
PTN yang menyandang gelar pengangguran intelektual. Lulusan PTN ataupun PTS
tidak menjadi masalah selama kualitas individu dapat diperhitungkan di dunia
pasar tenaga kerja. Jadi, jika tujuan utama kita dalam dunia perkuliahan adalah
untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai, baik itu PTN ataupun PTS tidak
sepenuhnya membantu kita dalam berkarir, namun kita harus terlebih dahulu
mempersiapkan hard skill dan soft skill kita[4].
Pendidikan
tinggi sebenarnya dapat memberikan kontribusi besar bagi perekonomian di
Indonesia. Direktur Tingkat Negara Bank Dunia
untuk Indonesia, Stefan Koeberle mengatakan bahwa perguruan tinggi yang
menyelenggarakan keterampilan dan penelitian yang tepat dapat membantu
negara-negara seperti Indonesia untuk menjadi lebih produktif, lebih inovatif
dan lebih mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan di suatu lingkungan global
yang kompetitif[5].
kata. Memang benar demikian, karena tahun ini Indonesia memasuki era Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA), Barang dan jasa dari semua negara anggota ASEAN ditambah
akan lebih bebas untuk masuk ke Indonesia. Begitu juga sebaliknya, ekspor
barang dan jasa Indonesia ke negara-negara tersebut lebih bebas. MEA bertujuan
untuk menarik investor asing agar kawasan ASEAN menjadi lebih sejahtera dan
berdaya saing tinggi. Namun bagi negara yang memiliki kesiapan kurang, maka MEA
bisa menjatuhkan ekonomi negara tersebut. Disini manusia Indonesia disini akan
dituntut bersaing dengan semua negara ASEAN. Tentu inovasi-inovasi baru harus
segera muncul mengingat persaingan yang tambah berat baik dalam negeri maupun
di tingkat regional ASEAN bahkan di dunia internasional. Indonesia merupakan
negara yang kaya, tentu kekayaan pemberian tuhan ini harus kita maksimalkan
sebaik mungkin untuk kesejahteraan bersama. Kita juga harus mengenalkan
berbagai ciri khas dari daerah-daerah di Indonesia, agar masyarakat luar
khususnya dalam regional ASEAN tidak
hanya mengenal Indonesia secara umum, tapi juga sampai pada daerah-daerah penuh
potensi. Contoh produk olahan bandeng di Gresik berupa otak-otak dan bonggolan.
Makanan ini cocok jika dipasarkan di luar negeri karena daya tahan lama dan
rasanya yang sesuai dengan masyarakat ASEAN pada umumnya. Makanan tersebut bisa
menjadi trademark untuk membedakan Gresik dengan daerah lain di
Indonesia. Maka dalam hal ini pemerintah harus menaruh perhatian serius. Jangan
sampai pengusaha lokal mati dengan potensi-potensi mereka yang layu sebelum
berkembang.
Tantangan dan
tuntutan zaman terus berubah dari waktu ke waktu, memang kita sebagai manusia
Indonesia yang berkualitas harus bisa selalu fleksibel dengan segala perubahan
yang terjadi. Jangan sampai perubahan yang terjadi malah mendegradasi moral
kita, maka dari itu kita mulai sekarang harus berubah! Tak usah terlalu
ambisius untuk itu, kita realistis saja dalam memulai, dari hal kecil pada diri
kita, yakni kesadaran serta tanggung jawab.
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا
بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلا مَرَدَّ لَهُ وَمَا
لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum
mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya dan tidak
ada pelindung bagi mereka selain Dia”[6]
(Q.S: Ar Ra’du:11)
[1] http://bisnis.liputan6.com/read/2356557/anggaran-pendidikan-di-apbn-2016-cetak-sejarah diakses 23 Oktober 2016 Jam 18.32 WIB.
[2] http://pojoksatu.id/pendidikan/2016/05/10/hasil-snmptn-2016-ini-daftar-lengkap-siswa-lulus-di-76-ptn-seluruh-indonesia/ diakses 23 Oktober 2016, jam 19.05 WIB.
[3] http://infosbmptn.com/
diakses 23 Oktober 2016, jam 19.09 WIB.
[4] https://video.quipper.com/id/blog/mending-mana-pilih-pts-atau-ptn-setelah-lulus-sma/ diakses 23 Oktober 2016, Jam 19:54 WIB.
[6] Muhammad
Tholib, Al Qur’anul Karim TarjamahTafsiriyah , (Solo:CV. Qolam Mas,2012)
hlm. 199.
tulisan angka footnote nya itu harus diletakkan setelah titik, bukan sebelumnya.
BalasHapuscontoh: .... kita.[4]
Terima Kasih koreksinya :)
Hapus