Gresik, kota kecil terletak di Pantai Utara Jawa Timur, terkenal dengan julukan sebagai “Kota Industri” karena masifnya pembangunan pabrik-pabrik baru dikota ini. Tak heran, cuaca di Gresik terkenal dengan suhu udara panas yang teramat sangat. Tapi, dibalik itu semua kita akan merasa sejuk ketika datang berziarah ke makam para wali yang dikebumikan disini. Sebut saja Sunan Maulana Malik ibrahim, Sunan Giri, dan Juga Siti Fatimah binti Maimun. Oleh karena itu Gresik terkenal dengan sebutan kotanya para wali. Maka saya putuskan untuk mengambil tempat observasi di kota kelahiran saya ini.
26 November 2016,
sebuah perjalanan spiritual dimulai. Berangkat dari rumah kecil saya di Desa
Masangan, Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik. Dengan mengendarai sepeda motor,
40 menit dihabiskan selama perjalanan dengan jarak kurang lebih 40 Km untuk
sampai di tempat tujuan. Tibalah di makam Sunan Maulana Malik Ibrahim atau Sunan
Gresik yang terletak dipusat Kota Gresik, tepatnya di Desa Gapurosukolilo
menjadi destinasi pertama. Tempat ini merupakan tujuan utama dalam kegiatan
observasi peninggalan sejarah islam, karena memiliki kesamaan nama dengan
kampus tempat saya belajar sekarang.
Masuk ke dalam,
disambut dengan banyaknya peziarah yang datang dari pelbagai daerah di Indonesia.
Memang karomah seorang wali tidak ada habisnya meskipun beliau telah wafat.
Disini saya mencoba mencari jejak peninggalan Sunan Gresik lewat penuturan
langsung dari ahli sejarahnya. Setelah bertanya kesana kemari, akhirnya
memunculkan satu nama, yaitu Bapak Abdul Wahab. Beliau merupakan ahli sejarah
yang sudah berpengalaman. Segera saya mencarinya disetiap sudut kompleks makam.
Namun hasilnya ternyata nihil. Dengan berat hati, karena tidak ada informasi otentik
dari ahli sejarah, segera saya meninggalkan
tempat.
Saya putuskan
rencana kedua untuk menuju destinasi selanjutnya, yakni Makam Sunan Giri.
Terletak diatas sebuah bukit di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik.
Kita harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menuju ke makam utama, karena untuk
kesana harus ditempuh dengan menaiki anak tangga kira-kira sejauh 200 meter.
Namun tidak usah khawatir jika tidak kuat, banyak jasa ojek siap mengantar
melewati jalur lain yang lebih cepat. Menelusuri langkah demi langkah menaiki
anak tangga, saya jadi membayangkan betapa beratnya perjalanan dan cobaan yang
ditempuh Sunan Giri ketika mensyiarkan agama islam di Gresik dan seluruh
Indonesia pada umumnya. Akhirnya, saya masuk di kompleks utama makam.
Penyambutan hangat diberikan oleh bapak Su’udi selaku penjaga pintu utama
makam. Saya disarankan untuk menemui bapak Hamim untuk menelusuri lebih dalam
lagi mengenai sejarah Sunan Giri. Alhamdulillah, Allah memudahkan jalan saya
untuk menemui bapak yang dimaksud. Tidak menunggu waktu lama lagi, saya ajukan
beberapa pertanyaan seputar sejarah Sunan Giri.
Jadi, Raden Paku
(Nama kecil Sunan Giri) dilahirkan di kerajaan Blambangan yang masuk dalam
wilayah Banyuwangi, Jawa Timur pada tahun 1442. Putra dari pasangan Maulana
Ishaq, ulama besar dari Samarkand dan
Dewi Sekardadu putri dari Prabu Minak Sembuyu ini pada waktu kecil memiliki
kisah cukup unik, karena pada waktu kelahirannya wilayah Blambangan sering
mendapat wabah penyakit mematikan. Oleh karena itu, untuk menghilangkan kutukan
tersebut ayahanda dari Raden Paku memutuskan untuk membuang dan memasukkan ke
dalam peti bayi yang baru dilahirkan tersebut dilautan lepas. Kisah ini hampir
mirip dengan apa yang dialami Nabi Musa semasa kecil.
Kemudian dalam
perjalanannya, Raden Paku ditemukan oleh saudagar kaya dari Gresik bernama Nyai
Ageng Pinatih yang kelak mengangkatnya sebagai anak dan memberi nama Joko
Samudro (Joko=Anak Laki-Laki, Samudro=Laut). Dia tumbuh menjadi anak yang
cerdas. Hingga pada usia 12 tahun, dia berguru pada syekh Ali Rahmatullah(Sunan
Ampel) untuk memperdalam ilmu agamanya di Pondok Pesantren Ampel di Ampeldenta,
Surabaya. 7 tahun belajar, Sunan Giri mampu menghafal Al Qur’an dan diwisuda
serta mendapat gelar Ainul Yaqin. Sunan
Giri pernah dalam suatu hari menikahi dua orang gadis sekaligus dalam satu
hari. Di pagi hari menikah dengan Dewi Murthosyiah, yakni putri dari Sunan
Ampel dan asharnya dengan Dewi Wardah, putri dari Ki Ageng Bungkul. Dari
pernikahan dengan Dewi Murthosyiah, Sunan Giri dikaruniai 8 anak, diantaranya:
Ratu Gede Kukusan, Sunan Dalem, Sunan Tegalwangi, Nyai Ageng Seluluhur, Sunan
Kidul, Ratu Gede Saworasa, Sunan Kulon, Sunan Waruju. Sedangkan dari Dewi
Wardah beliau hanya memiliki 2 orang anak yaitu Pangeran Pasirbata dan Siti
Rohbayat.
Sunan Giri juga
pernah mendirikan sebuah pondok pesantren yang pada waktu itu mendapat predikat
sebagai pesantren terbesar di Pulau Jawa, Yaitu Pesantren Giri Kedaton. Beliau
mendirikan pesantren tersebut diatas perbukitan di Desa Sidomukti. Giri dalam
bahasa Jawa berarti gunung/bukit. Hal itu yang mendasari penyebutan Sunan Giri
oleh masyarakat sekitar. Santrinya dari masyarakat biasa sampai bangsawan, tapi
justru kebanyakan berasal dari luar Jawa, seperti Lombok, Samarinda, Padang,
dsb. Salah satu murid paling terkenal adalah Datuk Ri Bandang, yang merupakan
seorang mubaligh di kerajaan Gowa-Tallo. Pesantren Giri berkembang sangat pesat
hingga menjadi salah satu pusat pengembangan islam di Pulau Jawa serta menjadi
kerajaan islam bernama Giri Kedaton dimana Sunan Giri menjadi raja pertamanya
dengan gelar Prabu Satmata. Lewat kerajaan tersebut Sunan Giri juga secara
otomatis membawa masyarakat Gresik menuju kemajuan, dari sektor ekonomi sampai
sosial.
Meskipun paling
muda, diantara 9 wali, Sunan Giri dianggap memiliki ilmu paling tinggi, sampai
disebut sebagai rajanya para wali. Karena itu, Sunan Giri sering ditunjuk
sebagai pemimpin rapat walisongo dan juga sebagai pengambil keputusan dalam
suatu masalah. Hingga pada usia 63 tahun, tepatnya pada tahun 1603 Sunan Giri
Wafat, dan dimakamkan di Desa Giri. Banyak peninggalan dari Sunan Giri,
diantaranya buah pace atau dalam Bahasa Indonesianya disebut buah mengkudu,
pada waktu itu mengobati bagi pasangan yang belum punya keturunan, tapi
sekarang pohonnya sudah rusak. Ada juga watu gajah, berupa bongkahan-bongkahan
batu besar dari sisa bangunan yang belum sempat dihancurkan. Kemudian Telogo
Pegat, digunakan sebagai sumber air warga setempat. Sunan Giri juga membangun
masjid Ainul Yaqin sebagai pusat ibadah, letaknya masih di kompleks makam.
Terakhir yang paling legendaris adalah Keris
Kolomunyeng, senjata andalan Sunan Giri ketika menghadapi lawan-lawannya.
Konon, keris kolomunyeng bisa bergerak sendiri membunuh musuh-musuh Sunan Giri,
selain itu keris ini diyakini memiliki kemampuan untuk membuat pasukan bayangan
serta mengacaukan serangan lawan dengan memunculkan koloni lebah.
Memang Sunan Giri
telah wafat beberapa abad yang lalu, namun karomah dan barokah seorang wali
masih hidup dan menghidupi warga sekitar Giri. Disamping makam ada pasar khusus
oleh-oleh khas Gresik yang berjejer-jejer. Biasanya tempat ini menjadi rujukan
kedua setelah makam Sunan Giri.
Selesai sudah
perbincangan saya dengan Bapak Hamim selaku juru kunci makam, diakhir saya
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas kesediannya meluangkan waktu
untuk sekedar bercerita dan menuturkan sejarah serta fakta mengenai Sunan Giri
di masa lalu. Sebelum keluar dari kompleks makam, beliau berpesan pada saya dan
mahasiswa pada umumnya untuk selalu belajar dengan rajin, tapi tidak lupa
dengan gusti Allah, juga menjaga sejarah dengan sebaik-baiknya.